Di zaman sekarang
ini, semakin banyak wanita keluar dari rumahnya untuk bekerja.
Sebagian besar dari mereka bekerja dengan dalih menambah penghasilan karena
uang bulanan yang diberikan oleh suaminya tidak mencukupi. Persoalan wanita
bekerja di luar rumah atau yang populer disebut wanita karir memang masih ramai
dibicarakan. Ada yang menerima dan ada yang menolak. Bagaimana Islam memandang
hal ini?
Pada dasarnya
mencari nafkah adalah kewajiban suami sebagai Qowwam (pemimpin) dan tugas istri
adalah mengurusi rumah tangga, mendidik anak-anak dan mengerjakan kewajiban
lain nya sebagai seorang istri kepada suaminya dan seorang Ibu kepada
anak-anaknya.
Namun demikian,
tidak berarti bahwa wanita bekerja di luar rumah itu diharamkan syara’.
Karena tidak ada seorang pun yang dapat mengharamkan sesuatu tanpa adanya nash
syara’yang shahih periwayatannya dan sharih (jelas) petunjuknya.
Selain itu, pada dasarnya segala sesuatu dan semua tindakan itu boleh
sebagaimana yang sudah dimaklumi.
Dari Aisyah radliyallaahu anha, Rasulullah salallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Apabila seorang
wanita keluar dari rumah suaminya untuk mencari nafkah guna membantu suaminya
dengan tidak menimbulkan kerusakan, maka ia mendapat pahala dari apa yg ia
usahakan, dan bagi suaminya juga mendapat pahala dengan apa yg diusahakan” (HR.
Bukhari-Muslim)
Diriwayatkan pula
bahwa Asma’ binti Abu Bakar yang mempunyai dua ikat pinggang, biasa
membantu suaminya Zubair bin Awwam dalam mengurus kudanya, menumbuk biji-bijian
untuk dimasak, sehingga ia juga sering membawanya di atas kepalanya dari kebun
yang jauh dari Madinah.
Jadi seorang istri
boleh bekerja diluar rumah membantu mencari nafkah dengan beberapa
pertimbangan:
1. Mendapatkan izin
dari walinya, yaitu Ayah atau suaminya untuk suatu pekerjaan yang halal.
2. Tidak bercampur
baur dengan kaum laki laki, atau melakukan khalwat dengan laki laki yang bukan
mahramnya. Rasulullah bersabda :
“ Janganlah sekali
kali seorang laki – laki berkhalwat (berduaan) dengan wanita, karena yang
ketiganya adalah syaithan”. (HR At Tirmidzi ).
3. Tidak berlaku
tabaruj dan menampakan perhiasaan yang dapat mengundang fitnah. Kata tabaruj,
bila dikaitkan dengan seorang wanita memiliki tiga pengertian :
1. Menampakan keelokan wajah dan bagian bagian tubuh yang membangkitkan
birahi,
2. Memamerkan pakaian dan perhiasaan yang indah dihadapan kaum laki laki
yang bukan mahram.
3. Memamerkan diri dan berjalan berlenggak lenggok dihadapan kaum
laki-laki yang bukan mahram . (Al Hijab :290).
Menurut Alqur`an dan
As Sunnah dan kesepakatan para ulama bahwa hukum tabaruj adalah haram. (Ensiklopedi
Wanita muslimah :153 ).
4. Tidak memakai
parfum yang menyengat hidung atau parfum yang membangkitkan birahi seseorang.
Dalam sebuah hadist , Rasullah bersabda :
“ Setiap mata adalah penzina,dan sesungguhnya apabila wanita itu mengenakan
wewangian kemudian dia berlalu melewati majlis, maka dia adalah penzina”. { HR
Abu Daud, dan At Tirmidzi }.
5 .Memakai hijab
menurut ketentuan syar`I sebagaimana Allah Ta`ala berfirman :
“ Wahai Nabi
katakanlah kepada istri istrimu, anak anak perempuanmu, dan para wanita
mukminin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka, yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak
diganggu ,dan Allah maha pengampun lagi maha penyayang “ (Al- Ahzab :59 ).
Islam yang Universal
Islam mengatur semua
hal, bahkan hal kecil sekalipun, apalagi soal harkat dan martabat wanita. Dalam
Islam, wanita sangat dimuliakan. Sebelum datangnya Islam, wanita diperlakukan
semena-mena. Pada masa jahiliyah, bayi perempuan dikubur hidup-hidup karena
diapandang bahwa wanita hanya akan menyusahkan.
(وَإِذَا ٱلۡمَوۡءُۥدَةُ سُٮِٕلَتۡ (٨)بِأَىِّ ذَنۢبٍ۬ قُتِلَتۡ (٩
“Apabila bayi-bayi
perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.”
[Q.s At-Takwir: 8-9]
Dalam masyarakat
Yunani, wanita dipandang sebagai barang yang dapat diperjual- belikan. Dalam
masyarakat Hindu, bahkan wanita disamakan dengan makhluk jelata yang setingkat
dengan kasta hewan. Na’udzubillaahi min dzaalik.
Islam Memuliakan
Wanita
Kemudian Islam
datang untuk menempatkan kedudukan wanita pada posisi yang layak, memberikan
hak-haknya dengan sempurna tanpa dikurangi sedikitpun. Islam memuliakan
kedudukan kaum wanita, baik sebagai ibu, sebagai anak atau saudara perempuan,
juga sebagai istri. Pada poin yang terakhir ini, yaitu sebagai istri,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan seorang suami
untuk menafkahi istrinya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, baik dari segi
makanan, pakaian, dan sebagainya. Seorang istri berhak mendapatkan apa-apa yang
ia butuhkan dengan cara meminta kepada suaminya dengan cara yang ma’ruf.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, dia menuturkan bahwa Hindun binti ‘Utbah berkata: “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit. Ia tidak memberikan
nafkah yang cukup untukku dan anakku, kecuali apa-apa yang aku ambil darinya
dengan sembunyi-sembunyi“ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Ambillah
harta yang mencukupi dirimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf (baik)” (HR.
Al Bukhari dalam Shahih-nya (no. 5324), Kitab “an-Nafaqaat”, Bab “Idzaa lam
Yunfiqir Rajulu”; Muslim dalam Shahih-nya (no. 1714), Kitab “al-Aqdhiyah”, Bab
“Qadhiyah Hind”, dari ‘Aisyah)
Sanggahan Bagi Kaum
Feminis
Sayangnya, hak
wanita di zaman sekarang ini seringkali “dipaksakan” oleh sebagian kalangan.
Beberapa di antaranya yang menamakan diri mereka sebagai feminis (yang katanya
memperjuangkan hak wanita), mereka berpendapat bahwa wanita harus sejajar
dengan laki-laki, wanita tidak boleh dikekang, dan sebagainya. Padahal hal-hal
tersebut malah membuat wanita kehilangan kemuliaannya.
Wanita berbeda
dengan laki-laki dalam hal-hal tertentu, sehingga tidak akan bisa seorang
wanita bertindak seperti laki-laki, bebas keluar rumah dan eksis di
ranah publik. Sebagai contoh perbedaan laki-laki dan wanita (yang akan
berpengaruh dalam pekerjaan yang boleh untuk wanita dan yang tidak) adalah
perbedaan fisik. Ini yang pertama. Laki-laki mempunyai fisik yang lebih kuat
sehingga mampu menerima tantangan yang keras untuk bekerja di luar rumah,
sedangkan wanita dengan kelemah lembutannya diciptakan untuk tetap berada di
rumah, mengurusi rumah dan anak-anak mereka. Kedua, perbedaan
hormon. Ketiga,perbedaan kondisi fisik dan psikis, di antaranya keadaan
wanita yang mudah tersinggung, temperamental, apalagi ketika masa haidh. Keempat, perbedaan
susunan otak pria dan wanita. Otak laki-laki jauh lebih unggul daripada otak
wanita, sehingga lebih cocok bila laki-laki lebih banyak berada di ranah
publik.
Namun, Islam agama
yang sempurna tidaklah mengungkung para wanita dan sama sekali tidak
membolehkannya keluar rumah. Adakalanya wanita dibutuhkan kehadirannya di luar.
Atau mungkin mereka membutuhkan sesuatu yang harus didapat dengan cara keluar
dari rumahnya.
Bagaimana Aturan
Islam Bila Wanita Harus Keluar Rumah?
Jika wanita mesti
keluar rumah untuk bekerja, maka hal-hal berikut yang mesti diperhatikan:
Mendapatkan izin
dari walinya
Wali adalah kerabat seorang wanita yang mencakup sisi nasabiyah (garis
keturunan, seperti dalam An Nuur:31), sisi sababiyah (tali
pernikahan, yaitu suami), sisi ulul arham(kerabat jauh, yaitu saudara
laki-laki seibu dan paman kandung dari pihak ibu serta keturunan laki-laki dari
keduanya), dan sisi pemimpin (yaitu hakim dalam pernikahan atau yang mempunyai
wewenang seperti hakim). Jika wanita tersebut sudah menikah, maka harus
mendapat izin dari suaminya.
Berpakaian secara
syar’i
Syarat pakaian syar’i yaitu menutup seluruh tubuh selain bagian yang
dikecualikan (wajah dan telapak tangan, -ed), tebal dan tidak transparan,
longgar dan tidak ketat, tidak berwarna mencolok (yang menggoda), dan tidak
memakai wewangian.
Aman dari fitnah
Yang dimaksud aman dari fitnah adalah wanita tersebut sejak menginjakkan kaki
keluar rumah sampai kembali lagi ke rumah, mereka terjaga agamanya,
kehormatannya, serta kesucian dirinya.Untuk menjaga hal-hal tersebut, Islam
memerintahkan wanita yang keluar rumah untuk menghindari khalwat (berduaan
dengan laki-laki yang bukan mahram, tanpa ditemani mahramnya), ikhtilath (campur
baur antara laki-laki dan wanita tanpa dipisahkan oleh tabir), menjaga sikap dan
tutur kata (tidak melembutkan suara, menundukkan pandangan, serta berjalan
dengan sewajarnya, tidak berlenggak-lenggok).
Adanya mahram ketika
melakukan safar
Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Seorang
wanita tidak boleh melakukan safar kecuali bersama mahramnya.” [HR. Bukhari
dalan Shahihnya (no. 1862), Kitab “Jazaa-ush Shaid”, Bab “Hajjun Nisaa’”;
Muslim (no. 1341), Kitab “al-Hajj”, Bab “Safarul Mar-ah ma’a Mahramin ilal
hajji wa Ghairihi”, dari Ibnu ‘Abbas]
Pekerjaan yang Cocok
bagi Muslimah
Ketika syarat-syarat
tersebut telah terpenuhi, maka wanita pun boleh keluar rumah bahkan untuk
bekerja. Namun hendaknya dipahami lagi, jenis-jenis pekerjaan seperti apa yang
boleh dilakukan oleh wanita, sesuai dengan aturan Islam.
Beberapa pekerjaan
yang diperbolehkan bagi wanita, selama syarat-syarat di atas terpenuhi,
diantaranya adalah:
Dokter, perawat,
bidan, dan pekerjaan di bidang pelayanan medis lainnya, misalnya bekam,
apoteker, pekerja laboratorium.
Dokter wanita menangani pasien wanita, anak-anak, dan juga lelaki dewasa. Untuk
menangani lelaki dewasa, maka syaratnya adalah dalam keadaan darurat, misalnya
saat peperangan, di mana laki-laki lain sibuk berperang, dan juga ketika dokter
spesialis laki-laki tidak ditemui di negeri tersebut.Salah satu dalil yang
membolehkannya adalah, dari ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz, dia berkata:
“Dahulu,
kami ikut bersama Nabi. Kami memberi minum dan mengobati yang terluka, serta
memulangkan jasad (kaum muslimin) yang tewas ke Madinah.” [Al-Bukhari dalam
Shahihnya (no 2882), Kitab “al-Jihaad was Sair”, Bab “Mudaawatun Nisaa’
al-Jarhaa fil Ghazwi”]Dalil lainnya adalah, dari Anas, dia berkata: “Dahulu,
apabila Rasulullah pergi berperang, beliau membawa Ummu Sulaim dan beberapa
orang wanita Anshar bersamanya. Mereka menuangkan air dan mengobati yang
terluka.” [Muslim, ash-Shahiih (no. 181), Kitab “al-Jihaad was Sair”,
Bab “Ghazwun Nisaa’ ma’ar Rijaal”]
Imam Nawawi menjelaskan hadits di atas,
tentang kebolehan wanita memberikan pengobatan hanya kepada mahram dan suami
mereka saja. Adapun untuk orang lain, pengobatan dilakukan dengan tidak
menyentuh kulit, kecuali pada bagian yang dibutuhkan saja.
Di bidang
ketentaraan dan kepolisian, hanya dibatasi pada pekerjaan yang
dikerjakan oleh kaum wanita, seperti memenjarakan wanita, petugas penggeledah
wanita misalnya di daerah perbatasan dan bandara.
Di bidang pengajaran
(ta’lim), dibolehkan bagi wanita mengajar wanita dewasa dan remaja putri. Untuk
mengajar kaum pria, boleh apabila diperlukan, selama tetap menjaga adab-adab,
seperti menggunakan hijab dan menjaga suara.
Menenun dan
menjahit, tentu ini adalah perkerjaan yang dibolehkan dan sangat sesuai dengan
fitrah wanita.
Di bidang pertanian,
dibolehkan wanita menanam, menyemai benih, membajak tanah, memanen, dsb.
Di bidang
perniagaan, dibolehkan wanita untuk melakukan jual beli. Dalam hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa salah
satu tanda kiamat adalah maraknya perniagaan hingga kaum wanita membantu
suaminya berdagang . Hadits ini tidaklah mengharamkan aktivitas wanita dalam
aktivitas perniagaan.
Menyembelih dan
memotong daging. Meskipun ada pendapat yang membolehkan pekerjaan ini bagi
wanita, namun hakikatnya tidak sesuai dengan tabiat wanita karena membuat
anggota tubuhnya tersingkap saat bekerja, seperti lengan, dan kaki.
Tata rias
kecantikan. Tentu saja hal ini diperbolehkan dengan syarat tidak melakukan
hal-hal yang dilarang, seperti menyambung rambut, mengikir gigi, menato badan,
mencabut alis, juga dilarang pula melihat aurat wanita yang diharamkan.
Dilarang menggunakan benda-benda yang membahayakan tubuh, serta haram
menceritakan kecantikan wanita yang diriasnya kepada laki-laki lain, termasuk
suami si perias sendiri.
Sebaik-Baik Tempat
Wanita Adalah Rumah
Dari ulasan di atas,
tetaplah sebaik-baik tempat wanita adalah di rumahnya. Allah Ta’alaberfirman,
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu
tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang Jahiliyyah yang dahulu” (QS. Al Ahzab: 33).
Yang dimaksud dengan
ayat ini adalah hendaklah wanita berdiam di rumahnya dan tidak keluar kecuali
jika ada kebutuhan.
Sehingga jika ada
pekerjaan bagi wanita yang bisa dikerjakan di rumah, itu tentu lebih layak dan
lebih baik. Dan perlu ditekankan kewajiban mencari nafkah bukanlah jadi
tuntutan bagi wanita. Namun prialah yang diharuskan demikian. Inilah yang Allah
perintahkan,
Allah Ta’ala berfirman,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا
“Hendaklah orang
yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan
rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.
Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah
berikan kepadanya” (QS. Ath Tholaq: 7).