Kemajuan teknologi menjadikan informasi tersebar lebih cepat. Media cetak
seperti koran, majalah, surat kabar dan sejenisnya mulai tergeser dengan
kehadiran media elektronik seperti radio dan televisi. Terlebih telah hadir
teknologi internet di mana kita dapat menjelajahi berita dengan kedalamannya
tanpa terikat batasan waktu maupun ruang. Atas nama kecepatan, kini banyak
berita di media online yang hanya asal unggah dalam menyampaikan
informasi. Standar akurasi, keberimbangan berita, dan pengabaian etika
jurnalistik menjadi hal yang tak diperhatikan. Media saat ini cenderung membuka
informasi kepada masyarakat seluas-luasnya, dalam bentuk yang sebebas-bebasnya.
Anggota Dewan Pers, Abdullah Alamudi dalam artikel pada portal republika.co.id
menyampaikan bahwa kini banyak insan pers yang tidak mengerti kode etik apalagi
memahami UU tentang pers terbukti sebagian besar pengaduan masyarakat kepada
Dewan Pers berkaitan dengan pelanggaran kode etik. Banyak kalangan yang menilai
bahwa kebebasan pers saat ini sedang “kebablasan” setelah jatuhnya masa orde
baru. Ratusan media massa baik cetak maupun online bermunculan
dimana-mana, dari tingkat lokal hingga nasional.
Di era teknologi yang serba maju ini tetap dibutuhkan wartawan yang paham
dan taat kode etik, di mana ini menjadi sesuatu yang seharusnya menjadi simbol
kebanggaan profesinya. Hanya saja, seperti yang telah dikatakan oleh anggota
Dewan pers di atas, tidak banyak wartawan yang memahami kode etiknya. Jangankan
memahami kode etik, masih banyak wartawan yang belum pernah membaca kode etik.
Menjadi wajar apabila wartawan wajib mematuhi kode etik jurnalistik karena kode
etik jurnalistik diandaikan sebagai pagar moral dan bentuk tanggung jawab etis
wartawan serta integritas profesi wartawan. Kode etik jurnalistik bersifat
personal dan otonom, disusun melalui ketentuan-ketentuan tertulis oleh, dari,
dan untuk wartawan yang tergabung dalam suatu organisasi kewartawanan, untuk
kemudian berikrar melaksanakannya (Wibowo, 2009:71). Pada hakikatnya kebebasan
pers adalah kebebasan bersuara bagi masyarakat. Sehingga, upaya mendirikan
media pers adalah hak bagi setiap warga negara. Namun, ada tanggung jawab yang
harus dipertanggungjawabkan pada masyarakat, setidaknya bertanggung jawab
kepada pembaca, pendengar, dan penonton media masing-masing.
Dalam penyajian sebuah berita, wartawan menggunakan istilah, kata atau
rangkaian kalimat yang terkadang membuat pembaca sulit untuk memahaminya. Tidak
jarang pula pemilihan kata atau diksi yang kurang tepat serta penggunaan
istilah dan kata yang berlebihan bahkan terkesan vulgar dalam sajian beritanya,
sehingga dapat menimbulkan persepsi atau pemaknaan yang berbeda terhadap
informasi yang disampaikan bagi pembaca. Berbicara mengenai kode etik
jurnalistik, tentu tidak lepas dari pasal-pasal yang yang berkaitan dengan
gender, orientasi seksual, pencabulan maupun pornografi di dalamnya. Gender
dalam hal ini perempuan tak jarang mendapat sorotan negatif dari wartawan
melalui pemberitaannya di media online. Di sini wartawan berperan cukup
penting, mengingat media yang seharusnya menjadi agen sosialisasi perlindungan
perempuan malah menyebabkan adanya “cap” buruk bagi perempuan. Seperti dapat
dilihat dalam web http://ruangkabar.com/berita-unik-hisap-payudara-menjadi-modus-baru-kejahatan/,
berita tersebut merupakan satu dari banyak berita yang biasanya mengumbar
berita tentang perempuan yang hanya lelucon murahan, ratu kecantikan, atau
bagaimana perempuan diperkosa dan dengan segala penderitaannya. Jarang media
massa yang memberitakan tentang keberhasilan perempuan.
Dapat dilihat dari judul beritanya, “Berita Unik – Hisap Payudara, Menjadi
Modus Baru Kejahatan”. Dari judulnya saja sudah terlihat bahwa media seolah
merendahkan perempuan dengan mengekspose bagian vital perempuan yang seharusnya
dilindungi, malah diumbar secara terang-terangan bahkan dimanfaatkan sebagai
modus kejahatan. Di kalimat terakhir pada paragraf pertama juga ditulis, “Munculnya
dari modus ini di lakukan oleh salah satu cewek yang seksi sekaligus cantik, di
mana dirinya sudah berpura-pura untuk menyodorkan payudara seksinya untuk bisa
di hisap sang korbannya”. Mengacu pada Kode Etik Jurnalistik Aliansi
Jurnalis Independen, jelas di situ wartawan telah melanggar kode etik
jurnalistik pasal 16 yang berbunyi, “Jurnalis menolak kebencian,
prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi, dalam masalah suku, ras, bangsa,
jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, agama, pandangan politik, orang
berkebutuhan khusus atau latar belakang sosial lainnya”. Pada pemberitaan
di media online tersebut, wartawan mengabaikan pasal yang menolak sikap
perendahan terhadap gender, namun sebaliknya justru penulis tersebut berperan
membangun persepsi tentang perempuan seksi yang rela memberikan payudaranya.
Hal ini menimbulkan kecenderungan banyak portal online melalui
penulisnya mengabaikan sikap profesional terutama dalam penulisan atau
penerbitan berita. Pasalnya, isi dalam berita ini melanggar kode etik
jurnalisme di mana berita-berita tersebut tidak memenuhi unsur keberimbangan
berita. Dalam kode etik jurnalisme dijelaskan bahwa penulisan berita tidak
diperbolehkan menyudutkan satu pihak dan subyektif, melainkan harus bersifat
netral.
Selain melanggar pasal 16, penulis berita sekaligus media ini juga
melanggar pasal 21 yang berbunyi, “Jurnalis tidak menyajikan
berita atau karya jurnalistik dengan mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan
fisik dan psikologis serta kejahatan seksual”. Pada berita
tersebut diperlihatkan gambar bagian belahan payudara wanita yang hanya
tertutup sebagian. Secara etika hal tersebut tidak layak menjadi konsumsi
publik karna semata-mata dapat menimbulkan nafsu birahi. Cara media ini menampilkan
gambar atau foto dibuat agar pembaca tertarik mengakses, tanpa menghiraukan
norma-norma dan kode etik jurnalistik yang berlaku. Media ini tidak lagi
menghiraukan efek yang timbul dari pembacanya dan melupakan kode etik
jurnalistik dan undang-undang pornografi yang menjadi pondasi maupun aturan
yang telah ada. Selain itu fungsi media bukan lagi sebagai media penyampai
informasi kepada publik, melainkan penyebar budaya pornografi kepada publik.
Kebebasan pers disinyalir membuat semakin menjamurnya media-media yang dengan
sengaja mengekploitasi seks untuk kepentingan komersial. Mereka menulis berita
yang bersifat spekulatif dan tidak mengindahkan kode etik. Hendaknya, setiap
pemberitaan kasus kekerasan seksual senantiasa mengacu pada kode etik
jurnalistik, bahwa jurnalis tidak menyebutkan hal-hal yang mengundang nafsu
birahi.
Lebih lanjut menurut Pamungkas dalam Ashadi (2010:314), media massa,
dianggap sebagai salah satu lembaga yang melanggengkan nilai-nilai bias gender,
nilai-nilai patriarkal, serta ideologi yang timpang dan diskriminatif terhadap
perempuan. Eksploitasi atas tubuh atau bahkan derita perempuan masih
dengan mudah kita lihat di media massa cetak dan elektronik. Selama ini banyak
media yang mengeksploitasi perempuan sebagai objek seks yang pada akhirnya
melahirkan masyarakat yang sarat dengan kekerasan terhadap perempuan. Hal ini
disebabkan antara lain oleh gambaran media tentang perempuan yang selalu
terfokus pada aspek fisik dan biologis serta mengabaikan aspek kemanusiaan
perempuan. Media cenderung melihat perempuan hanya sebagai makhluk seksual
ketimbang mengangkatnya sebagai makhluk manusia yang utuh seperti laki-laki.
Artinya media ikut andil dalam melanggengkan konsepsi yang merendahkan
perempuan dan kekerasan terhadap perempuan Terlihat pada berita tersebut bahwa
wartawan tidak mengindahkan kode etik jurnalistik yang telah diatur dengan
jelas. Padahal sebenarnya media juga dapat dijadikan sarana yang efektif untuk
mensosialisasikan cara pandang positif terhadap perempuan. Media perlu menggunakan
bahasa yang netral, tidak sensasional atau mendramatisir masalah, serta
berhati-hati dalam menuliskan detil kasus agar tidak terjerumus dalam
pemberitaan yang menyalahkan salah satu gender.
Ashadi Siregar (2006:224) dalam bukunya Etika Komunikasi mengatakan, “Ideologi paling ideal dalam jurnalisme adalah kesadaran eksistensial untuk melayani khalayaknya”. Berkaca pada pernyataan tersebut, seharusnya seluruh wartawan Indonesia menyadari bahwa tindakan tersebut turut mencoreng pihak Pers di Indonesia. Bisa jadi di kemudian hari moral masyarakat menjadi semakin tidak karuan apabila kasus penulisan berita di media online tidak segera diperbaiki. Terlebih, kendali atas informasi kini tak lagi sepenuhnya berada di tangan wartawan dan pemilik media, tapi sedang beralih ke tangan pemirsa dan konsumen. Prinsip hati-hati, empati, dan sikap bijaksana sangat dituntut dalam setiap pemberitaan seputar pornografi seperti kasus berita online di atas. Semua itu perlu dilakukan agar pers dapat berkontribusi melindungi perempuan dan sekaligus tidak kehilangan peran mendorong penegakan hukum serta bersama-sama dengan seluruh elemen masyarakat mencegah terjadinya kasus pornografi dengan modus kriminal lainnya. Sudah seharusnya jrnalis dan perusahaan penerbitan pers Indonesia menaati peraturan main dalam menghasilkan dan menerbitkan karya jurnalistik sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku di Indonesia. Demikian juga dengan publikasi informasi yang berkaitan degan masalah kesusilaan.
Fenomena jurnalisme online membuat para pengkaji jurnalisme dihadapkan pada kecenderungan berita online identik dengan berita asal cepat, tak akurat, bahkan terkadang menjurus ke sesuatu yang porno. Dan karena itu, tak seperti berita di media cetak dan televisi, berita online cenderung dianggap tak punya pengaruh signifikan terhadap pengambilan kebijakan. Berita online juga seperti boleh dibuat tanpa mengindahkan prinsip-prinsip dan kode etik jurnalistik. Rumor bisa langsung naik jadi berita, meski belum dicek kebenarannya. Korban di bawah umur tak mengapa disebut terang-terang namanya, bahkan dimuat fotonya. Gambar kekerasan yang berdarah-darah dan begitu grafik dapat langsung diunggah tanpa diedit atau disensor terlebih dahulu. Semua seakan di-sah-kan. asalkan menarik, membuat banyak orang meng-klik, trafik pengunjung menjadi tinggi dan berujung pada banyak pengiklan yang tertarik. Wartawan dan redaksi umumnya berdalih, pilihan kata atau ungkapan-ungkapan konotatif yang dilakukan memiliki alasan untuk menghindari kebosanan publik ketika membaca berita tersebut. Ada juga yang berpendapat untuk memperkaya gaya penulisan berita mereka. Argumen lain adalah agar pembaca tersedot perhatiannya. Pilihan kata yang konotatif tersebut justru akan melahirkan pemahaman yang berbeda dari publik. Khususnya terhadap tindak kejahatan terkait pornografi itu sendiri. Walaupun rambu-rambu bagaimana menjalankan peran dan fungsi pers sudah diatur, namun jika kita lihat saat ini kondisi media di Indonesia belum mampu membuat produk pers yang benar-benar dibutuhkan publik, sebagian media mengotori citra kemerdekaan pers dengan melanggar kode etik jurnalistik, sebagiannya lagi merusak kepercayaan publik terhadap pers.
----
Menurut saya seharusnya berita
tidak menimbulkan sara kepada pembacanya karena akan menimbulkan pikiran yang
cabul atau porno. Wartawan pun mempunya kode etik yang mengacu pada undang-undang
yang sudah ada hukumnya. Karena kode etik itu sangat penting bagi wartawan.
Kode etik yang dimaksud itu seperti
memberitahu nama asli tersangka, nama tempat dengan lengkap, nama universitas
atau sekolah yang terkait dengan TKP, dll. Profesionalisme wartawan patut
dipertanyakan apabila ia sudah melanggar kode etik yang ditetapkan. Karena dengan
melanggar kode etik itu akan membuat pembaca menganggap bahwa tempat yang
menjadi TKP atau dan lain-lainnya menjadi tercoreng/ jelek.
Oleh karena itu, seorang wartawan
tidak boleh salah sebut nama lengkap seorang tersangka karena akan melanggar
kode etik. Seorang wartawan pun seharusnya tidak membuat berita yang
menimbulkan salah presepsi oleh pembacanya seperti berita pornografi. Karena di
zaman teknologi seperti ini bukan hanya orang dewasa yang bisa membaca berita
dengan berita pornografi. Tetapi anak-anak sekolah dasar pun bisa membaca
berita seperti itu dan nantinya akan membuat pola pikir mereka menjadi dewasa
sebelum waktunya. Dampak dari itu semua adalah anak-anak yang sudah mengerti
seks bebas, menjalin cinta dengan lawan jenis bahkan lebih parah lagi.
Sumber :
http://www.kompasiana.com/natalistory/pelanggaran-kode-etik-jurnalistik-terkait-pornografi-pada-berita-media-online_554a4128f47e61a0128b4613