Manusia itu hidup dalam keadaan berjuang kata Thomas Habbes, sebab tanpa demikian manusia akan jatuh tersungkur dimuka bumi. Hampalah sarinya suatu kehidupan, sebab hidup itu sendiri sudah merupakan suatu hak yang paling utama dari sejumlah hak yang dimiliki oleh setiap umat manusia. Inilah apa yang kita kenal akan Hak untuk hidup. TRIBUERE SUUN CUIQE, adalah ucapan manusia-manusia di jaman Romawi kuno, betapa penting memberikan hak-hak apa yang ada pada setiap orang, apa yang dimilikinya harus diberikan kepadanya, tanpa kecuali. Inilah gambaran keadilan di Romawi kuno dimana prinsip ini sangat mewarnai kehidupan manusia dikala itu. Sedangkan manusia Yunanipurba telah pula mendahuluinya tentang hal keadilan ini, karena manusia Yunani purba tersebut percaya dan dilambangkan oleh Dewa Zeus, dimana Dewa Zeus yang menguasai Jagat Raya dianggap sebagai penegak hukum dan keadilan.
Orang Yunani purba selalu melaksanakan upacara ritual dan berbagai perayaan untuk menghormati Dewa Zeus sebagai penegak hukum dan keadilan ini, untuk itu PHIDIUS seorang ahli pahat kenamaan, telah pula membuat patung Dewa Zeus yang terbuat dari bahan emas dan gading. Zeus bisa digambarkan sebagai seorang yang amat perkasa dengan dada lebar dan berambut lebat. Wajahnya memancarkan kewibawaan penuh keagungan dan kasih sayang, sedangkan burung garuda tetap berada disampingnya merupakan binatang suci. (Yanti Asnawi, dalam Mitologi Yunani, 1982). Lain pula halnya dengan Kong Hu Cu, beliau bertutur tentang keadilan ini antara lain dengan mengatakan "bila anak sebagai anak, bila ayah sebagai ayah, bila raja sebagai raja, masing-masing telah melaksanakan kewajibannya maka itulah keadilan". Agaknya menyadari akan peranan masing-masing dari suatu fungsi merupakan suatu keharusan bagu tercapainya suatu keadilan versi Kong Hu Cu ini.
Di jaman Yunani kuno, Plato menelaah masalah keadilan secara mendalam. Justru ahli filsafat yang dapat memerintahkan negara dengan cara yang adil. Maka dari itu berikanlah kesempatan kepada mereka untuk memerintah, karena dengan modal filsafat tersebut membuat Raja akan jauh lebih arif dan bijaksana, bahkan lebih mampu melihat apa yang dinamakan keadilan secara nyata, bagaimana keadilan harus dicapai secara nyata, bagaimana keadilan harus dicapai dalam kehidupan bernegara. Lebih jelas Plato memberikan NILAI keadilan tersebut sebagai "Kebajikan tertinggi dalam kehidupan negara yang baik" (The supreme virtue of the good state), sedangkan orang yang adil adalah " orang yang mengendalikan diri yang perasaannya dikendalikan oleh akal" (the discipline man whose passion are controlled by reason). Keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum dari suatu masyarakat, terutama menjaga integritas masyarakat tersebut. Dalam suatu masyarakat yang adil setiap orang menjalankan pekerjaan yang menurut sifat dasarnya dianggap paling cocok bagi setiap orang tersebut. Pandangan Plato tersebut juga menginginkan adanya keselarasan dan keharmonisan sebagai bentuk dari suatu keadilan.
Tetapi sayangnya tidaklah keadilan dan cita keadilan tersebut dapat dipahami oleh manusia dimuka bumi ini, sebab betapa pelik dan kompleksnya suatu keadilan. Namun demikian tidaklah menjadi aral bagi manusia yang merealisasikannya. Bagi suku bangsa Jawa, sudah merupakan kebiasaan di masa yang lalu, terutama dalam hal memperoleh, menginginkan suatu keadilan, dimana mereka berbondong-bondong menuju Kraton, dan duduk berjemur diri di alun-alun dengan mengikat secarik kain putih dikepalanya sebagai pertanda bahwa mereka menuntut hak-hak tertentu kepada Raja. Ini yang dikenal dengan "pepe", (Muhtar Lubis, Bangsa Indonesia).
Semua kejadian-kejadian diatas sebenarnya berpangkal dari adanya keinginan kesempurnaan hidup. Hidup baru dikatakan sempurna apabila semua hak-hak yang dimiliki oleh manusia harus mendapatkan perhatian penuh. Terutama dari penguasa, maupun masyarakat manusia. Hak yang ada pada manusia harus dikembalikan kepadanya. Beberapa hak-hak asasi manusia telah pula diperincikan oleh John Lock, antara lain adalah :
- Hak untuk hidup
- Hak untuk berkeluarga
- Hak untuk memperoleh pendidikan
- Hak untuk berpendapat bebas, dan
- Hak untuk tidak boleh dihukum, sebelum ada petunjuk atau bukti yang sah
Hidup sebenarnya merupakan kodrat dari setiap manusia, sukar dibayangkan apabila masih ada saja manusia yang hidup sendirian. Sebab ditengah-tengah kehidupan bersama itu justru manusia dapat mengembangkan kemanusiaannya, disitu pula ada aturan-aturan, norma-norma, adat istiadat, ugeran dan wejangan yang kesemuanya itu turut membentuk citra pikiran dan tindakan dari semua manusia, alhasil disinilah baru dirasakan bahwa kehidupan bersama itu memang manusia tulen. Sebagaimana luas dan kompleksnya ruang jelajah cita keadilan, tentunya merasuk kesetiap segi kehidupan. Baik sesama manusia maupun dengan lainnya. Interaksi tersebut jelas bahwa suatu konsekuensi adanya hak dan kewajiban, hak dan kewajiban ibarat pisau bermata dua, disatu pihak menunjuk kepada manusia yang lain, inilah yang dikatakan orang tenggang rasa, tepo, seliro, saling asih, asuh, asah. Dengan demikian semua manusia menunjukkan serba ada guna dan menunjukkan fungsi masing-masing.
Keadilan memang merupakan masalah bagi kehidupan manusia, maka dari itu tak luput dari persoalan masyarakat secara menyeluruh. Sehingga muncul pula konsep keadilan sosial, masalah keadilan sosial sebenarnya tidak lain kumpulan masalah-masalah ketimpangan hidup yang dirasakan, dialami oleh setiap manusia sebagaimana unsur masyarakat. Terhadap hal ini Dr. Soedjatmoko (Budayawan, diplomat) menginginkan agar setiap perguruan tinggi menangani masalah tersebut (keadilan sosial sebagai acuan masalah yang harus diatasi). Masalah utama dari keadilan sosial ini antara lain : distribuusi pendapatan serta distribusi kekayaan produktif, dan kebijaksanaan fiskal dan upah memadai, serta penciptaan kesempatan kerja. Sedangkan segi lain dari masalah keadilan sosial ini lebih lanjut dikatakannya adalah :
- Perlindungan yang sama dibawah hukum, termasuk kesempatan yang sama untuk menggunakan proses peradilan.
- Kesempatan yang sama akan pendidikan dan pekerjaan.
- Hak yang sama dalam perbuatan keputusan (decision making) (Prisma, Maret 1976).